Rumahdijual Dijual Rumah Cocok Invest Produksi Film @Cirendeu, Ciputat Tanggerang dengan interior tak berperabot, dengan 5 Kamar Tidur, harga Rp 16 M di Jl. Puri CIrendeu Tanggerang Selatan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten ️ Lihat detail lengkap, foto, lokasi & fasilitas. PunyaRumah Produksi, SMKN 5 Bandung Siap Buat Film. 18 Januari 2022 18 Januari 2022 oleh Iskandar-6 Indonesia Investasi di Bidang Pendidikan dan Penelitian - 1 Januari 1970; 3 Pertimbangan 1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan Negara - 1 Januari 1970; Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5 Bandung meresmikan rumah produksi untuk kompetensi 5Potret Rumah Artis di Bandung 1. Raffi Ahmad Sumber: JPNN Sebelum menjadi artis terkenal ibu kota, Raffi Ahmad tinggal di kota Kembang, Bandung. Melansir dari berbagai sumber, rumah yang ditinggali oleh ibu Raffi Ahmad, Amy Qanita dan keluarganya itu terletak di Jalan Batik Kumeli No.59, Kecamatan Cibeuying Kaler, Kota Bandung. Rumahyang digeledah merupakan tempat memproduksi pil dengan bahan baku berbahaya. Rumah yang Digerebek di Bandung Produksi Obat Terlarang | Republika Online REPUBLIKA.ID Lihatdetail, foto dan peta dari listing properti 19775251 - disewa - For Rent Rumah/gudang/ruang produksi dian permai raya - Babakan Ciparay, Bandung, Jawa Barat, 700 m², Rp 175 jt /tahun To comply with GDPR we will not store any personally identifiable information from you. bagaimanakah perencanaan usaha pembenihan ikan hias pada umumnya. Selain dikenal sebagai kota kuliner, nyatanya Bandung memiliki berbagai spot menarik yang tak dapat Anda temui di tempat lain. Bahkan, banyak rumah produksi film yang menjadikan Bandung sebagai latar tempat untuk pengambilan dari sekolah hingga Art Gallery, tempat-tempat ini bahkan menjadi destinasi wisata baru para pelancong saat berkunjung ke Kota Bandung. Penasaran dimana saja tempat syuting tersebut? Yuk Intip artikelnya di bawah ini!NuArt Sculpture Park PosesifFilm yang mendulang banyak prestasi pada Piala Citra 2017 ini sebetulnya memiliki 2 tempat utama di Bandung, yakni di kolam renang Universitas Pendidikan Indonesia dan juga NuArt Sculpture Park. Galeri seni ini berlokasi di Jalan Setra Duta Raya no. L6, beragam karya seni mulai dari lukisan hingga patung berukuran besar, galeri seni ini dapat memanjakan mata Anda. Terlebih banyak pepohonan yang membuat suasana terasa begitu sejuk. NuArt Sculpture Park ini dimiliki oleh seniman terkenal I Nyoman Nuarta, karya terkenal lainnya adalah patung Garuda Wisnu Kencana di Uluwatu, Putih My HeartMelipir sedikit dari tengah Kota Bandung tepatnya ke daerah Ciwidey, terdapat tempat wisata alam yang memiliki bentuk teramat indah. Apalagi kalau bukan kawah putih. Terletak di kaki Gunung Patuha, kawah putih merupakan danau yang terbentuk karena letusan Gunung My Heart yang tayang pada 2006 silam mengambil salah satu adegan ikoniknya di sini. Yakni ketika Rachel berlari dan terperosok jatuh setelah melihat Farel dan Rumah Tua Ibu Pengabdi SetanTak terlalu jauh dari Ciwidey, Anda dapat mengunjungi rumah ikonik bekas tempat syuting Pengabdi Setan di daerah Pangalengan. Tepatnya di Perkebunan Teh Kertamanah, Pangalengan, Bandung. Rumah ini mendadak jadi tempat wisata yang tak membuat kantong Anda rumah ini merupakan bangunan khas masyarakat kolonial Belanda. Terdapat kesan vintage yang begitu kuat, terlebih ditambah dengan ornamen wallpaper yang begitu khas. Namun, kesan indah akan tergantikan perasaan merinding setelah Anda mengingat scene apa saja yang terjadi di sana. Menelusuri Ketakterhubungan dan Ketaksinambungan dalam Komunitas Film BandungGorivana AgezaWaktu menunjukkan pukul dan Kedai Cas kian disesaki pengunjung. Santos-Bandung Film Festival SBFF memasuki sesi terakhir dalam rangkaian acaranya yang berlangsung selama 20-22 Oktober 2017. SBFF adalah festival yang diinisiasi oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation UNESCO dengan mempertemukan Santos Brazil sebagai kota film dan Bandung sebagai kota desain untuk melakukan kolaborasi pemutaran dengan saling bertukar film asal kota masing-masing. Kedai Cas menjadi lokasi terakhir penyelenggaraan SBFF, setelah sesi-sesi pemutaran sebelumnya dilakukan di tiga tempat Cas sendiri merupakan kedai kopi milik dua sineas Bandung yang terletak di gang seputaran Jalan Dipati Ukur. Bermula dari kerja sama program antara Kedai Cas dengan beberapa pegiat dari Bandung Film Council BFC, lahirlah pemutaran film pendek bertajuk Nonton Film di Gang pada pertengahan 2016. Nonton Film di Gang secara rutin diadakan setiap bulan. Dalam waktu kurang dari satu setengah tahun, Kedai Cas menjelma menjadi tempat nongkrong anak komunitas film Bandung, dan tidak terbatas pada saat gelaran Nonton Film di Gang itu, 22 Oktober 2017, semua orang berbaur di Kedai Cas. Bagi pegiat komunitas film Bandung, SBFF adalah momen penting. Festival ini berhasil menjembatani dan menggandeng berbagai pihak yang cenderung hanya berkutat di lingkaran masing-masing. Momen itu menunjukkan bagaimana sesuatu yang berbeda dan berasal dari kejauhan, seperti film-film Santos, tidak hanya menyatukan para pegiat, melainkan juga membantu komunitas Bandung menyadari dan memahami dirinya sendiri. Sayangnya, keterhubungan di kalangan komunitas film di Bandung masih jauh panggang dari Pemutaran, Ruang PertemuanBersamaan dengan berhentinya program Nonton Film di Gang pada 2018, “kemesraan” para pegiat antarkomunitas perlahan luntur. Deden M. Sahid, salah satu sineas yang menginisiasi Nonton Film di Gang meyakini bahwa keberadaan ruang fisik amat signifikan dalam berkomunitas di Bandung. Pandangan serupa diungkapkan oleh Roufy Nasution, seorang sineas Bandung yang karyanya relatif berpengaruh bagi pembuat film dari generasi lebih muda. Ia mengatakan bahwa ada kalanya ia membanggakan era Kedai Cas bak sebuah kisah dalam satu dekade terakhir jumlah ruang pemutaran-diskusi seperti Kedai Cas, dan komunitas ekshibisi di skena komunitas Bandung jauh lebih sedikit ketimbang komunitas produksi. Kesenjangan ini berkaitan dengan situasi skena film Bandung yang didominasi oleh komunitas berbasis kampus—baik berupa program studi maupun unit kegiatan mahasiswa UKM film—yang mayoritas berkutat di ranah produksi. Sementara itu, kegiatan ekshibisi cenderung dikelola oleh komunitas non-kampus, contohnya bukan berarti komunitas berbasis kampus sama sekali tidak melakukan pemutaran film dan apresiasi. Komunitas berbasis kampus yang berfokus hanya pada aktivitas non-produksi, seperti Sinesofia Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, menjadi semacam anomali. Serupa dengan Sinesofia, Liga Film Mahasiswa LFM ITB adalah contoh lain dari komunitas berbasis kampus yang beraktivitas di semua lini perfilman, mulai dari produksi hingga apresiasi dan kajian. Indicinema BandungObrolan Minggu 1 Perempuan dan DirinyaKomunitas ekshibisi sendiri di Bandung dapat dibedakan berdasarkan film-film yang diputarkannya. Pertama, ekshibisi yang berfokus pada film-film lokal Bandung. Sebagai contoh, Ruang Film Bandung lewat program Klinik Film dan pemutaran bulanan Cinemora Open House oleh Cinemora. Berdasarkan penuturan Roufy dari Cinemora, ekshibisi seperti ini umumnya bertujuan untuk memberikan ruang pada pembuat film pemula untuk mempertontonkan karyanya, tanpa perlu dibebani oleh kualitas dan pencapaian ekshibisi dengan programasi film-film alternatif, seperti yang dilakukan oleh komunitas Bahasinema dan Indicinema. Ekshibisi dengan corak seperti ini cenderung lebih berfokus pada aspek wacana dan kuratorial sehingga asal muasal pembuat film tidak menjadi soal. Ketiga, ekshibisi yang memutarkan film-film panjang. Sebagai contoh, Komunitas Layar Kita. Sepekan dua kali, secara rutin Layar Kita memutarkan dan mendiskusikan film-film panjang terutama film-film klasik, yang didominasi oleh film luar dari keragamannya, salah satu persamaan dan hambatan mendasar di antara komunitas-komunitas ekshibisi ini adalah mayoritas tidak memiliki ruangan pemutaran sendiri. Komunitas-komunitas ini perlu bekerja sama—dapat juga diartikan dengan “bergantung”—dengan pihak lain yang memiliki ruangan pemutaran. Misalnya, museum milik pemerintah, lembaga kebudayaan asing, galeri seni, resto dan jumlah komunitas ekshibisi dan ruangan pemutaran menimbulkan keresahan. Kesenjangan antara jumlah produksi film dengan ruang pemutaran berdampak pada keterputusan antara film dengan calon penontonnya. Alhasil, komunitas produksi lokal kesulitan mendistribusikan situasi ini lantas berkenaan dua hal. Pertama, pegiat komunitas, terutama komunitas produksi, cenderung menaruh perhatian lebih pada siapa yang membuat film. Kedua, penonton memiliki kecenderungan untuk lebih memedulikan film sendiri ketimbang siapa pembuatnya. Poin yang terakhir ini dapat dibandingkan dengan hasil pengamatan Roufy pada penonton Sinerame. Sinerame adalah program kerjasama antara Ruang Film Bandung, Co&Co, Cinemora dan sejumlah pihak lainnya, dengan Roufy sebagai juru program. Dalam dua kali gelaran Sinerame, mayoritas penonton dari pemutaran ini berasal dari kalangan umum yang cenderung memusatkan ketertarikan hanya pada dengan Roufy, mantan direktur program Ganesha Film Festival 2018 dan programmer Indicinema, Damar Bagaskoro mencontohkan pemutaran film “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” karya Wregas Bhanuteja di Indicinema pada awal 2020. Tiket pemutaran untuk ruangan berkapasitas 50 penonton ludes. Saat itu mayoritas penonton justru berasal dari kalangan umum non-komunitas. Mereka mengetahui film pendek tersebut melalui ulasan media masyhur berbasis daring. Contoh lain, film “Kucumbu Tubuh Indahku” karya Garin Nugroho menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang Indicinema berdiri. Penonton umum mengetahui film tersebut lewat kontroversi yang diangkat oleh produksi lantas kebingungan mendistribusikan filmnya. Beberapa memilih untuk membuat pemutaran mandiri tanpa bermitra dengan komunitas ekshibisi. Dalam banyak kesempatan, inisiatif itu hanya dinikmati warga komunitasnya sendiri. Di sisi lain, belum banyak penonton umum yang familiar dengan pemutaran film-film alternatif oleh komunitasKondisi ini tentu agak disayangkan. Lewat penonton yang lebih beragam, pegiat komunitas produksi dapat pula bertemu bermacam penilaian penonton dan umpan balik. Dengan menonton karya-karya komunitas lain, suatu komunitas dapat memperoleh perspektif baru dan referensi dalam berkarya. Pertukaran dan perluasan gagasan dimungkinkan. Sebaliknya, publik—termasuk yang belum familiar dengan pemutaran alternatif—pun dapat bertemu dengan berbagai macam contoh kasus Sinerame dan Indicinema, pengalaman komunitas Bahasinema dapat pula dijadikan komparasi. Program-program pemutaran Bahasinema selalu bekerja sama dengan penyedia ruang yang berbeda. Dalam sesi diskusi di salah satu kafe populer di akhir tahun 2018, penonton-penonton yang mayoritas berasal dari segmen pengunjung kafe mengatakan pengalaman itu kali pertama mereka berkenalan dengan film-film pendek alternatif dan mereka Kristianto, programmer Jogja-NETPAC Asian Film Festival asal Bandung, berpendapat komunitas Bandung cenderung hanya “asyik sendiri” dalam lingkarannya masing-masing. Mahfum bila sosok pegiat komunitas seperti Deden dan Roufy menyayangkan hilangnya Nonton Film di Gang, lantaran keterhubungan antarkomunitas meluntur seiring itu. Sebab, bersamaan dengan hadirnya ruang fisik dan momen, dimungkinkan pula terjalinnya keterhubungan dan kebersamaan. Sebs Cine ClubShooting Maybe Someday Another Day But Not TodayTak Ada Menara Gading yang Tak RetakJanuari 2022 lalu, Coffie Coordination for Film Festival in Indonesia memulai rangkaian diskusi publik yang mempertemukan penyelenggara berbagai festival di berbagai kota, dan Bandung menjadi kota pertama. Saat itu hadir empat narasumber yang mewakili empat penyelenggara festival di Bandung Ganesha Film Festival Ganffest ITB, Bandung Independent Film Festival BIFF—sebelum dikelola mandiri di luar kampus, BIFF awalnya festival film asal kampus Institut Seni Budaya Indonesia ISBI—, Jatinangor Film Festival Universitas Padjajaran, dan International Photography and Short Movie Festival IPSM Universitas Telkom. Rupanya dari keempat narasumber hanya Adam yang merupakan pengelola BIFF yang pernah datang ke festival “tetangga”. Ia mengunjungi Ganesha Film Festival. Tiga pengelola sisanya hanya familiar saja dengan festival dari pandemi COVID-19 sejak Maret 2020, ada dua catatan dari diskusi daring itu. Pertama, festival film pada skena komunitas Bandung, sebagaimana komunitas produksi, juga berada pada institusi-institusi pendidikan tinggi. Kedua, pentingnya distribusi pengetahuan baik secara vertikal, yakni dalam komunitas yang sama dari senior ke junior—seperti tugas “safari festival”, maupun secara horizontal yakni antarkomunitas dan antarinstitusiKedua hal tersebut berkaitan dengan persoalan keberlangsungan dan sinergi antarkomunitas yang membentuk jejaring dan ekosistem skena film Bandung. Seperti yang sudah disebutkan pada bagian tulisan sebelumnya, skena Bandung didominasi oleh komunitas berbasis kampus, disertai tendensi keterpisahan dalam jejaring komunitas di Bandung. Kedua kondisi ini dapat lebih dipahami jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa institusi pendidikan memiliki jaminan atas keberlangsungan komunitas sehingga secara kelembagaan komunitas-komunitas ini cenderung beroperasi sendiri-sendiri. Kendatipun ada kerja sama antarkomunitas, sebagian bersifat pendek dan hanya bagian kecil dalam satu acara, alih-alih kemitraan strategis jangka panjang. CinemoraShooting The Boy With Moving ImageLebih lanjut, komunitas produksi asal Bandung juga amat minim melakukan kerjasama dengan komunitas dari daerah lain. Seperti yang dikatakan Yustinus, kerjasama yang ada bersifat personal yang mana didasarkan pada portofolio individu. Sementara pada ranah ekshibisi, kerjasama komunitas Bandung dengan daerah lain mungkin bisa dihitung dengan ada empat “privilese” yang dimiliki komunitas berbasis kampus. Pertama, sistem pendanaan yang lebih stabil, yang selanjutnya dilengkapi dengan sistem manajerial pengelolaan komunitas dan mekanisme akuntabilitas. Kemudian, regenerasi pengurus dan anggota yang ajeg. Terakhir, potensi keberlanjutan aspek transfer pengetahuan yang lebih dimungkinkan. Melalui sistem regenerasi yang fungsional, transfer pengetahuan dapat diwujudkan, meski perlu digarisbawahi bahwa itu bukanlah pada komunitas non-kampus menanggung beban lebih berat karena tidak ada pembaharuan personil secara konstan berkala. Pengelolaan komunitas malah terlalu bertumpu pada personal yang kemudian menjadi sosok “abadi” ketokohan dan patronasi. Sepintas gaya pengelolaan semacam ini “aman” karena dibayangkan ada perencanaan dan pelaksanaan jangka panjang, ketimbang pergantian pengelola yang terjadi secara cepat di komunitas yang kadang terjadi adalah kegagalan di dua sisi. Perencanaan dan pengembangan jangka panjang tidak berjalan, serta tidak terbentuk sistem pengelolaan yang mapan. Ketika para patron tidak lagi terlampau aktif, komunitas menjadi mandek sementara pengetahuannya bahkan belum sempat didistribusikan. Pun ketika tokoh-tokoh ini tetap aktif, stabilitas rentan tergelincir menjadi stagnasi, bahkan kemunduran, karena nyaris tidak ada Deden, Yustinus, Roufy, Damar Bagaskoro, maupun Malikkul Saleh sekretaris jenderal Bandung Film Commission berpendapat bahwa secara general regenerasi komunitas di Bandung cenderung melempem. Kekhawatiran itu ditujukan pada belum adanya sosok pembuat film dan juru program generasi baru yang menonjol selama beberapa tahun terakhir. Pembaharuan personil tidak serta merta sama dengan kontinuitas perkembangan “output” manusianya. Di skena Bandung, menurut Malikkul, secara general sulit ditemukan orang dengan kemampuan kuratorial yang mumpuni. Akhirnya banyak pemutaran yang kualitas programasinya setengah matang, dan berakhir menjadi kegiatan yang terjadwal ranah produksi, Roufy menandai kecenderungan pembuat film generasi baru justru mengekor karya-karya terdahulu yang sudah lebih dulu masyhur. Roufy melihat pula bagaimana setiap komunitas produksi sudah memiliki gayanya masing-masing yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga pembuat film sulit “membebaskan diri” dari pola tradisi tersebut. Konsekuensinya, minim karya-karya yang segar dan memiliki terobosan. Kecenderungan untuk hanya berkutat pada komunitas masing-masing, dan atensi hanya ditujukan pada ranah produksi saja adalah salah satu faktor utama dari situasi ini. Roufy mencontohkan bagaimana ia dulu justru bergabung dengan komunitas non-produksi di luar kampus demi menyaksikan beragam film dan belajar cara membacanya. Deden yang juga merupakan seorang dosen menambahkan bahwa pengetahuan yang diperoleh di bangku perkuliahan tidaklah cukup jika tidak disertai pengalaman riil belajar secara langsung “lapangan”.Eksistensi dalam Dunia yang DiisolasiDari sebuah kotak dus muncullah seorang anak laki-laki. Seiring waktu ia mulai bertanya-tanya meratapi eksistensinya “…mengapa aku harus seperti mereka? … aku mencari sesuatu yang tidak aku ketahui…”. Ia menyaksikan kehidupan manusia-manusia lain beserta segala konflik dan krisis eksistensialnya. Ia pun menghindari interaksi dengan mereka. Anak laki-laki ini lantas memilih berlari pulang “meninggalkan dunia” untuk kembali ke dalam penggalan adegan dalam film “Whispering Box” 2014 karya Irvan Aulia. Irvan Aulia adalah nama yang disebut-sebut oleh Yustinus dan Roufy sebagai salah satu sutradara muda yang karyanya memiliki kekhasan dan berdampak pada generasi selanjutnya, bersanding dengan Bihar Jafarian, Prama Yodha, Gilang Bayu Santoso, Gerry Fairus, Mustafa, dan Roufy sendiri. Kisah dalam film “Whispering Box” menjadi gambaran, sekaligus pula afirmasi, atas tendensi komunitas Bandung yang gemar berjibaku hanya pada “kardus” baca lingkaran-nya untuk berkutat hanya pada lingkup hidup “mikro” personal, domestik, cakupan kecil merembesi narasi-narasi dalam film komunitas Bandung. Kisah-kisah ini seperti mereka ulang kebiasaan hidup dalam “menara gading” masing-masing komunitas sehingga berjarak dari kompleksitas kenyataan. Hal ini kemudian terwujud dalam isu yang diangkat dan digambarkan dalam film, dan bagaimana problematika itu disikapi dan diselesaikan oleh tokoh dalam Bagaskoro menambahkan bahwa film komunitas Bandung bercorak apolitis. Konflik yang hadir dalam narasinya seperti dicabut dari realitas dan absen konteks sosial. Pun ada kecenderungan untuk mengisolasinya dalam lingkup domestik, seakan-akan sama sekali tidak ada keterkaitan dengan dunia di umum ada penutup atau “solusi yang memuaskan” atas konflik diangkat oleh film. Situasi ini dapat terjadi karena keengganan untuk mendekati dan/ atau kegagalan pembuat film dalam memahami carut-marutnya realitas. Akibat kenyataan yang disimplifikasi—hanya melihat hal yang di permukaan dan familiar—, maka persoalan seakan-akan dapat diselesaikan dengan cara yang mudah saja. Malikkul mengamini pendapat Damar yakni film-film Bandung cenderung belum memiliki kedalaman isu. Sementara Yustinus mengaitkannya dengan sejumlah karakteristik, yakni 1 gaya populer dan membicarakan hal-hal di permukaan; 2 kecenderungan narasi inspiratif motivasional dan sugar coating; 3 reproduksi nilai normatif arus tersebut, terutama dari Damar dan Yustinus kian menegaskan kecenderungan untuk mengedepankan aspek internal saya dan kelompok-saya. Seolah-olah kesulitan hidup yang dialami oleh seseorang hanya terkait dengan dirinya saja, dan individu bukanlah bagian dari dunia. Secara implisit hadir keyakinan bahwa merupakan tanggung jawab individu untuk mengembalikan kekacauan pada kondisi ideal. Persoalan dan “bencana” adalah konsekuensi “hukuman” dari kegagalan individu. Narasi ideal inspiratif muncul seiring dengan “kesabaran” tokoh melewati masalah, sambil tetap mempertahankan moralitasnya yang hitam-putih, alih-alih terkontaminasi kemuskilan realitas. Di titik ini—terutama jika kembali mengacu pada pendapat Yustinus—menjadi kentara bahwa sekalipun diproduksi oleh komunitas, film alternatif Bandung cenderung tidak mengarah pada pembentukan wacana lanjut, tendensi untuk menghindari kompleksitas keadaan tidak hanya muncul dalam narasi filmnya, melainkan juga muncul dalam ruang-ruang pemutaran dan diskusinya. “… mereka tidak punya latar belakang programasi ekshibisi yang memadai, jadi mereka bikin pemutaran yang tanpa programasi … baik itu yang dilakukan komunitas di dalam kampus maupun di luar kampus. … lebih ngepop … kurang serius … mungkin itulah ciri khas Bandung. Bandung tuh gak mau mikir yang terlalu susah-susah, gak mau dalem-dalem mikirnya, jadi ya seru-seruan aja,” demikian Malikkul menjelaskan gaya ekshibisi di itu Roufy menjelaskan pendekatan yang ia ambil melalui Cinemora Open House sehingga pemutaran rutin bulanan yang baru dimulai tahun lalu ini hampir selalu penuh sesuai kapasitas maksimal penonton. Ketika di saat bersamaan, akibat pandemi, justru banyak ruang pemutaran yang non-aktif.“… itu selalu full aja, bayar tiket pun sepuluh ribu. Ketika aku buat screening itu memang ada perubahan ambience yang aku coba, gimana waktu diskusi itu jangan serius … duduk bersila, ruangnya akrab banget, deket, kita sama penonton tuh deket karena saung. Jadi mereka merasa cair juga. …. Filmnya serius tapi dibawa becanda .. aku rasa kultur di Bandung tuh bodor, jangan terlalu serius-serius banget. Kalo ada orang serius di Bandung kayanya malah dicengin … Kayanya orang di sini gak bisa dibawa terlalu serius…”demikian penjelasan Roufy mengenai “resep suksesnya”. Lewat penuturan Malikkul dan Roufy, serta pendapat Deden dan Yustinus, secara tersirat ada anggapan yang bersifat dualistik, yakni antara sesuatu yang “seru dan ringan populer” dengan sesuatu yang "serius, mikir dalem, dan rumit”. Oposisi ini analog dengan gambaran yang ditunjukkan oleh film “Whispering Box” 4 GA ProductionShooting WordsDalam pengamatannya pada film-film pendek komunitas Bandung yang dirilis pada tahun 2019-2020, Damar mencatat ada empat corak cerita yang dominan 1 horor, 2 elemen imajiner yang menginterupsi realitas, 3 konflik domestik yang terisolasi, umumnya terkait figur paternalistik, 4 gaya absurd “Roufy-isme” dan para filmmaker yang terinspirasi olehnya.Dari catatan Damar tersebut, kisah tentang elemen imajiner yang menginterupsi realitas, pun isolasi konflik pada ruang domestik, seperti kembali mengafirmasi adanya pola untuk “memalingkan” diri dari kompleksitas kenyataan atau upaya pemberian solusi pintas. Sementara pola narasi yang berpusat pada figur paternalistik berkenaan dengan tidak hanya dengan tendensi mengawetkan moralitas normatif, melainkan juga mengisyaratkan corak film “Loper” 2013 karya alm Dendie Archenius dikisahkan ada seorang suami yang tanpa sengaja menerima koran “ajaib” dari masa depan. Dalam surat kabar itu termuat berita bahwa akan terjadi malapetaka di rumahnya, dan ia menjadi korbannya. Alih-alih melarikan diri ke luar rumah, ia justru semakin mengurung diri di rumah dan berwaspada untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Malam itu, pelaku yang berniat jahat muncul istri dan teman perempuannya. Setelah serangkaian upaya membela diri, sang suami selamat, sementara istri dan temannya tewas. Pagi harinya semua nampak baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa di rumah itu. Sang suami akhirnya membuka pintu pagar. Ia berdiri di ambang batas antara area teras rumahnya dengan jalanan demi berbincang dan berterima kasih kepada sang loper “Loper” yang menjadi official selection Ganffest 2014 secara tersirat sudah mengamini argumen Damar. Sekalipun berdiam diri dalam lingkaran masing-masing membahayakan bagi keberlangsungan dan perkembangan individu dan komunitasnya sendiri, pola tersebut masih tetap menggejala di skena komunitas film Membara, Minim RencanaKesamaan minat pada film merupakan alasan utama dari terbentuknya komunitas-komunitas ini. Di samping itu, adapun alasan profesional, misalnya pada mahasiswa kampus jurusan film dan rumah produksi. Minat “passion” adalah bahan bakar untuk memulai dan menggerakkan tentu minat saja tidak cukup. Damar misalnya membuka diskusi mengenai banyaknya pegiat yang “berguguran” dari komunitas, serta komunitas atau kegiatan yang “gulung tikar” lewat sebuah pertanyaan “apakah memang naturnya seperti itu, atau itu mismanajemen?”. Sementara Malikkul mewanti-wanti bahwa komunitas tidak bisa hanya mengandalkan “seru-seruan” saja, karena dalam pengelolaan diperlukan komitmen dan kemampuan manajerial. Ia menambahkan, komunitas akan sulit dikelola jika hanya mengandalkan sisa waktu luang dari membandingkan pandangan dari Damar dan Malikkul dengan pola regenerasi di skena komunitas Bandung, ada benang merah. Dalam konteks pegiat komunitas film dari kalangan mahasiswa, beberapa tidak melanjutkan beraktivitas di komunitas setelah menamatkan studinya. Orang datang silih berganti di komunitas kampus. Ketika pelajar tersebut sudah terjun ke dunia kerja, maka tuntutan untuk berkomitmen pada komunitas menjadi semacam beban ganda. Tidak sedikit pula pegiat komunitas Bandung yang lantas memilih untuk berpindah ke Jakarta karena alasan pekerjaan, baik masih dalam ranah yang berkaitan dengan perfilman maupun bidang yang berbeda. Ibukota, yang hanya berjarak dua jam dari Bandung, masih dianggap lebih “menjanjikan”.Malikkul maupun Deden adalah pengurus dari Bandung Film Commission BFC—komisi film daerah yang juga berfungsi sebagai penghubung komunitas-komunitas di Bandung—yang berdiri Maret 2019. Meski demikian keduanya menyadari bahwa BFC belum berfungsi maksimal sebagai “hub” penghubung antarkomunitas karena lembaga sendiri tidak memiliki pendanaan dan pengurusnya tidak bisa total mencurahkan waktu dan fokus lantaran “… masih sibuk dengan periuk nasi nasing-masing”. Rentang MitraEkshibisi / FestivalDari 10 kota, survei menemukan komunitas yang berfokus pada aktivitas ekshibisi berhasil menggaet beragam institusi di luar lingkaran komunitas film. Perusahaan atau institusi swasta adalah mayoritas kolaborator bagi komunitas penyelenggara pemutaran festival dan non-festival. Pemerintah ada di peringkat kedua, yang kemudian disusul oleh komunitas akar pengamatannya, Malikkul berusaha menjabarkan “kekeliruan manajerial” yang kerap terjadi dalam pengelolaan komunitas. BFC pun bukan pengecualian. Manajemen komunitas terlalu bertumpu pada “passion” dan momen-momen “eventual”. Pada praktiknya, komunitas bekerja secara impulsif sporadis, serta tidak memiliki visi jangka panjang berkesinambungan. Perencanaan termasuk rencana pelaksanaan, sistem kerja, strategi, serta nilai dan target tidak terjelaskan. Dan terakhir, minimnya orang yang berkomitmen menyayangkan disfungsinya lembaga yang dibentuk guna menghubungkan dan mewadahi komunitas-komunitas film di Bandung. Ia mengingatkan, jika lembaga representatif gagal menjadi “payung” yang menaungi, maka akan membuat komunitas-komunitas di bawahnya, pada akhirnya tetap berusaha contoh kasus Kedai Cas, dari contoh kasus BFC—yang pengurusnya rata-rata adalah “perwakilan” dari komunitas-komunitas di Bandung—iktikad untuk saling terhubung satu sama lain pun tidak cukup akibat ketiadaan “logistik” dana dan ruang fisik yang dapat dijadikan ruang aktivitas bersama di lokasi strategis. Seperti yang digelisahkan Deden “… logistik gak ada cuma mengandalkan semangat”. Aktivitas pada skala kecil mungkin terselamatkan lantaran dana bukanlah faktor dominan. Di sini modal sosial akses pada sumber daya manusia dan jejaring lebih penting. Namun, “pada skala kerja yang lebih besar dan mutakhir, tidak bisa tanpa dana…”, demikian menjadi lebih pelik pada komunitas di luar kampus. Pada satu pihak, komunitas dituntut untuk mampu membiayai operasionalnya. Di saat bersamaan, para pegiatnya mesti membiayai ongkos—tidak hanya uang, melainkan juga waktu dan tenaga—keterlibatannya dalam aktivitas komunitas. Padahal, pertama-tama, pegiat—khususnya mengacu kepada mereka yang sudah bekerja—mesti pula mencari nafkah untuk kebertahanan kehidupannya. Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa yang berhenti dari aktivitas komunitas ketika sudah terjun ke dunia kerja. Dari sini dapat dipahami mengapa ada pola “come and go”.Lebih lanjut, keterputusan juga menggejala di skala yang lebih besar yakni antara komunitas dengan pemerintah. Di titik ini, BFC berada pada posisi yang tidak mudah karena sekalipun memosisikan diri sebagai “konektor” penghubung, mediator posisi tawar yang dimilikinya relatif rendah. Kebijakan, termasuk juga pendanaan dan fasilitas, yang disediakan oleh pemerintah kerap kali tidak tepat guna. “Pemerintah lack of knowledge and less inisiative … pemerintah kurang mendengarkan komunitas … tidak sesuai kebutuhan karena tidak minta saran…”, demikian kekecewaan Malikkul. Keresahan lainnya muncul dari Yustinus perihal ketidakmerataan dukungan material dari pemerintah. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan pemerintah terhadap kondisi skena, sehingga menimbulkan “kesalahpahaman”. Pemerintah dianggap “mesra” dengan komunitas-komunitas tertentu saja. Strategi KomunikasiSeiring dengan tingginya penetrasi media digital di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, media sosial dan aplikasi pesan singkat menjadi dua medium utama yang digunakan dalam memasarkan acara pemutaran Memisahkan, Internet MenyatukanPandemi COVID-19 telah mengubah kondisi skena komunitas film di Bandung. Berbagai komunitas, terutama komunitas berbasis kampus, memindahkan aktivitasnya ke ruang virtual. Festival film seperti Ganffest 2022 diselenggarakan secara daring, sedangkan BIFF menunda waktu penyelenggaraannya selama setahun menjadi Juli 2022. Sejumlah kegiatan pemutaran alternatif—termasuk lembaga swasta yang bekerja sama menyediakan ruangan pemutaran— berhenti beroperasi akibat pandemi. Bahkan ketika pandemi sudah terkendali dan berbagai kegiatan luring kembali dimungkinkan, bioskop alternatif seperti Indicinema masih belum aktif kembali. Secara kontras, seperti yang dituturkan Deden, pandemi telah membuat rumah-rumah produksi justru kebanjiran tawaran pekerjaan. Tingginya permintaan akan konten audio-visual seiring dengan semakin masifnya aktivitas di dunia digitalBeberapa tahun terakhir, dan kemudian mencapai puncaknya ketika pandemi, memperlihatkan bagaimana media sosial dan algoritma memiliki andil signifikan dalam menyebarluaskan informasi pemutaran alternatif. Sinerame yang dimulai per Juli 2022 menunjukkan tren baru, yakni kehadiran penonton dari kalangan umum bahkan berasal dari luar Kota Bandung yang mengetahui kegiatan pemutaran film lewat informasi internet. Agaknya tidak beroperasinya bioskop berjaringan di pusat-pusat perbelanjaan untuk waktu yang relatif panjang akibat pandemi telah menggeser kebiasaan penonton. Ketersebaran film-film alternatif di internet membuat khalayak melirik tayangan film di luar bioskop arus dari konsekuensi yang dibawa oleh algoritma, internet mengeksplisitkan cara kerja jejaring menghubungkan dan menyinkronkan hal-hal yang sebelumnya terpisah. Komunitas-komunitas Bandung yang cenderung terpisah-pisah, berkutat dalam lingkarannya masing-masing, dan tidak sinergis barangkali perlu mereorientasi cara kerjanya. Komunitas sendiri menyiratkan adanya keterhubungan kolektif antar pihak secara sinergis, termasuk pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam mengupayakan keterhubungan dan kesinambungan, kemampuan untuk melihat relevansi mutlak diperlukan dalam berkomunitas maupun berkarya; bahwasanya berbagai hal saling terhubung, memengaruhi, dan berdampak. Karya-karya pilihan Kota Bandung 1,479 total views, 2 views today BANDUNG, PelitaJabar – Tak hanya mendirikan Rumah Produksi, PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production menggandeng SMKN 5 Bandung, akan memproduksi film series dan layar lebar yang dimulai pada Januari – April 2022 mendatang. Kepala Sekolah SMKN 5 Bandung Dini Yuningsih mengungkapkan, kerjasama tertuang dalam MoU dimana melibatkan sedikitnya 20-30 siswa siswi SMKN 5. Dini Yuningsih Alhamdulillah semuanya tertuang dalam MoU, dimana kerjasama akan dimulai Januari 2022 ini yang ditandai dengan lounching seremonial unit produksi, kompetensi keahlian film. Ada the series dan layar lebar, konsepnya mengenai dunia pendidikan dan budaya indonesia,’ paparnya menjawab PJ disela pembukaan Produksi Web Series dan Film Layar Lebar di Aula SMKN 5 Bandung, Jalan Bojongkoneng Cikutra Bandung Selasa 18 Januari 2022. Dini melanjutkan, lokasi pengambilan gambar dilakukan di SMKN 5 dan SMKN 10. Harapannya, pertama bertambahnya pengetahuan dan pengalaman dari guru dan peserta didik yang ada di kompetensi keahlian produksi film, sebagai bekal atau ajang pertempuran untuk menjadi lulus dari SMK, karena salah satu tujuan outcome itu dari SMKN 5 adalah BMW, Bekerja, Melanjutkan dan Wirausaha,’ ucap Dini seraya mengatakan jumlah siswa di SMKN 5 Bandung siswa dari enam kompetensi jurusan. Sementara, Agus Mokhtar Sidiq dari Brossa Film Production menjelaskan, pihaknya melibatkan siswa siswi SMKN 5 Bandung sebagai mitra kerja produksi. Sebagai produksi film pertama, kita menggandeng beberapa SMK jurusan perfileman di Kota Bandung, termasuk SMKN 5, dimana kompetensi siswa adalah tujuan utama dari pendirian rumah produksi berskala nasional. Ini komitmen kita bersama ibu Ratna Loupatty selaku team produksi. Untuk judul filmnya, Ketika Nana Terjatuh, mulai kita garap Feb-April 2022,’ pungkasnya singkat. *** Laporan Wartawan Tribun Jabar, Putri Puspita BANDUNG - Aksa Bumi Langit, rumah produksi yang berasal dari Kota Bandung, mempersembahkan sebuah film berjudul 'Alang-Alang' yang rencananya akan di ikutsertakan dalam festival internasional dan rilis di bioskop Indonesia pada kuartal II 2022. Film 'Alang-Alang' bercerita tentang perjuangan dan harapan anak yang tumbuh di daerah pelelangan ikan dengan layar lokasi Kota Pekalongan. Ide film 'Alang-Alang' diambil dari sang penulis sekaligus sutradara, Khusnul Khitam yang membuat dokumenter terkait 'Alang-Alang'. Baca juga Iko Uwais Syuting Film The Expendables 4, Foto Bareng Jason Statham, Saling Beri Pujian Istilah ini diambil untuk anak-anak pencuri ikan di tempat pelelangan ikan di Kota Pekalongan pada 2005. Sejak 2010, pria yang lebih akrab disapa Tatam itu mulai menulis cerita untuk film fiksi 'Alang-Alang' dan akhirnya bertemu dengan Chandra Sembiring, selaku produser film Alang-Alang. Tatam mengatakan, pertemuan denga rumah produksi Aksa Bumi Langit memiliki visi dan misi sama untuk mengangkat isu tentang resiliensi keluarga dapat terwujud. "Kami berharap film Alang-Alang dapat mengajak seluruh masyarakat, terutama orang dewasa, untuk lebih menyadari dan terpanggil untuk berperan dalam mendukung seluruh anak-anak di sekitar kita agar punya harapan baik di masa depan," kata Tatam di acara 'Bincang bersama Cast & Crew Film Alang-Alang' di Eduplex Coworking Space, Jalan Dago, Minggu malam 7/11/2021. Sebagai orang asli Pekalongan, Tatam menceritakan, ia melihat banyak anak-anak pelelangan ikan yang menjadi alang-alang. Padahal seharusnya, anak-anak tersebut bersekolah atau bermain. "Dari kejadian tersebut, saya tuangkan imajinasi dalam fiksi karena kalau dijadikan film dokumenter akan terbatas," ucap Tatam. Diperankan oleh Putri Ayudya dan Rafli Anwar sebagai pemain lokal, film ini mengangkat isu sosial, yakni kehidupan anak-anak yang sebagaimana mestinya. Baca juga Akan Dibuat Film, Kisah Gibran yang Hilang 6 Hari di Gunung Guntur Ketemu Sosok Mistis, Tayang 2022 Meskipun Rafli baru pertama kali main film layar lebar, namun sebelumnya, ia aktif di pertunjukan seni tradisional. "Saya senang bisa mengenal dunia perfilman. Dalam membentuk chemistry dengan Kak Putri juga nggak susah, karena dengan pemain lain juga saya mengikatkan tali persahabatan, jadi menganggap mereka ini sebagai kakak, ibu, atau ayah sendiri," ujar Rafli. Sekolah Menengah Kejuruan Negeri SMKN 5 Bandung meresmikan rumah produksi untuk kompetensi keahlian produksi film bekerjasama dengan PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production, yang akan memproduksi film series dan layar lebar. “Kerja sama ini ditandai dengan launching seremonial unit produksi kompetensi produksi film. Ada series dan layar lebar, konsepnya mengenai dunia pendidikan dan budaya Indonesia,” ujar Kepala SMKN 5 Bandung, Dini Yuningsih ditemui di Aula SMKN 5 Bandung, Jln. Bojong Koneng Kota Bandung, Selasa 18 Januari 2022. Dini berharap, kerja sama ini dapat meningkatkan kompetensi siswa agar mampu mewujudkan output dari lulusan SMK untuk BMW bekerja, melanjutkan, dan wirausaha. “Kerja sama ini adalah upaya peningkatan kualitas guru dan peserta didik yang ilmu dan pengalamannya dapat digunakan setelah lulus nanti. Ini merupakan bagian dari persiapan untuk mencetak peserta didik yang hebat di kompetensi keahlian produksi film,” tuturnya. Melalui rumah produksi ini, lanjut Dini, siswa kompetensi keahlian produksi film akan ditunjang fasilitas yang memadai untuk proses pembelajaran dan produksi karyanya. “Fasilitas telah sesuai standar. Insya Allah, kami sudah mempunyai kamera dan alat penunjang lainnya yang canggih untuk mendukung kelancaran produksi film nanti,” ungkapnya. Pihaknya pun akan memperkuat kompetensi guru dengan melaksanakan pelatihan sebagai asesor dan menjadikan SMK tersebut sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama LSP-P1. Rencananya, para guru dari kompetensi keahlian produksi film akan melaksanakan pelatihan asesor pada Februari 2022. “Sehingga, lulusan atau peserta didik kita akan distandardisasi kemampuannya dari kompetensi masing-masing yang memang diasesmen oleh pihak industri dan gurunya yang sudah menjadi asesor,” jelasnya. Sementara itu, Direktur Utama PT Sanghyang Ganesha Alam Kusumah Brossa Film Production, Agus Mokhtar Sidiq menjelaskan, pihaknya terpanggil agar para siswa sebagai sineas muda ikut bersama-sama membangkitkan dunia perfilman di kalangan pelajar. “Untuk mendukung itu, kita akan melaksanakan festival film anak untuk siswa SMP, SMA, dan SMK di Kota Bandung,” ujarnya. Untuk proyek series dan film, tambahnya dijadwalkan mulai produksi pada Februari 2022. “Kita sudah buat jadwal penuh sampai Desember, termasuk membuat film dokumenter yang mengangkat kebudayaan dan kearifan lokal. Seperti, Kampung Naga di Tasikmalaya, Gunung Sancang di Garut, dan Raden Kalung di Kabupaten Bandung,” tuturnya. Salah seorang siswa kompetensi keahlian produksi film SMKN 5 Bandung, Violita Chandra Kania mengaku sangat antusias dengan hadirnya rumah produksi ini. “Senang pastinya. Jadi, ada fasilitas baru dan nantinya bakal punya pengalaman baru juga,” ungkap siswa kelas XI ini. Acara tersebut dihadiri perwakilan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru serta Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VII, Arief Subakti.***

rumah produksi film di bandung