Novelini dirasakan sangat bertentangan dengan realitas. Umar Junus menganggap bahwa novel Merahnya Merah merupakan novel pembaharu intelektual Indonesia. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia untuk Kelas X 54 Rangkuman 1. Kegiatan mendiskusikan permasalahan berhubungan dengan cara pengungkapan pikiran, perasaan, dan informasi. Dengan demikian,
Jadilahpenerus bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. indonesia indah. Home; bahan ajar
Beserta saudara turut berjuang!” Tendens demikian tampak pada dua novel yang terbit pada masa Jepang, yaitu Palawija karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar. Angkatan 66 mempunyai konsepsi pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung dalam Manifes Kebudayaan. Dalam suatu periode
Padamasa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane.Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana.Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia.
Bukuini berisi informasi yang cukup lengkap mengenai kesusastaan indonesia, dalam buku ini juga diketengahkan judul atau isi ringkas sebuah karya sastra yang ditulis oleh pengarangnya. Dengan menyebut judul dan memberikan keterangan tentang hasil karya pengarang, juga memberikan ulasan terhadap sebuah karya sastra menjadikan buku ini lebih
bagaimanakah perencanaan usaha pembenihan ikan hias pada umumnya. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma Judul Buku Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma No. ISBN 9794072184 Penulis Idrus Penerbit Balai Pustaka Tahun Terbit 1990 Jumlah Halaman 172 Halaman Tebal Buku 21 cm Kategori Jurnal Sastra Bahasa Indonesia PENGENALAN Abdullah Idrus lahir di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921 – meninggal di Padang, Sumatera Barat, 18 Mei 1979 pada umur 57 tahun adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia menikah dengan Ratna Suri pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus. Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu. Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain. Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia satra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan dalam bukunya. Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkena dengan sastra seperti Teknik Mengarang Cerpen dan Internasional Understanding Through the Study of Foreign Literature. SINOPSIS Novel ini berisi sekumpulan cerita yang tidak saling berhubungan tetapi memiliki setting yang sama, yaitu masa perjuangan Indonesia yang berkisar sekitar pendudukan Jepang sampai kedatangan Sekutu. Berikut beberapa judul yang ditulis oleh Idrus, yaitu Ave Maria, Kejahatan Membalas Dendam, Kota Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Jaman Jepang, Sanyo, Fujinkai, Oh..oh..oh..!, Heiho, Kisah Celana Pendek, Surabaya, dan Jalan Lain ke Roma. Dari sekian banyak kisah yang ditulis oleh Idrus dalam novel ini ada salah satu judul yang menarik perhatian kami. Dalam kisah tersebut Idrus mengisahkan seorang jurnalis bernama Ishak yang memiliki pemikiran berbeda dari jurnalis lainnya. Ishak merupakan sosok orang yang cukup konsisten dan tidak menyerah dalam mempertahankan idealisme dan menggapai cita-citanya. Dia rela meninggalkan tunangannya yang bernama Satilawati dan dia dianggap sebagai seorang pengecut. Disamping itu Pak Sukroso ayah Satilawati tidak menyukai hubungan mereka. Beliau membenci Ishak dan menganggap bahwa Ishak tidak berbakat menjadi seorang pengarang atau jurnalis. Sebenarnya Satilawati sangat mencintai Ishak yang apa adanya. Meskipun hubungannya ditentang oleh ayahnya, Satilawati tetap mengharapkan Ishak kembali. Hingga pada suatu hari, Pak Sukroso meminta bantuan bibinya seorang perempuan paruh baya yang datang dari Cianjur. Perempuan paruh baya tersebut adalah seorang dukun masyhur dalam menceraikan orang. Namun, perempuan paruh baya itu menolak untuk memisahkan Satilawati dari Ishak, karena ia tau cucunya Satilawati sangat mencintai Ishak. Keunggulan Kisah dalam novel ini sangat imajinatif dan tergambarkan dengan jelas sehingga kita dapat merasakan suasana yang dijabarkan Idrus. Cerita dalam novel ini sangat berjiwa nasionalis dan penuh makna. Begitu banyak pelajaran hidup yang dapat kita peroleh. Ketika kita membaca novel ini, kita akan merasa seolah-olah kita sedang mengalami perjalanan pada masa pemerintahan Jepang dan Sekutu masih berkuasa di Indonesia. Selain itu, sampul novel ini sangat menarik perhatian sehingga tertantang untuk membacanya. Kekurangan Bahasanya yang cukup sulit dipahami karena menggunakan bahasa Melayu dan baku sehingga kami para generasi zaman sekarang sedikit kesulitan memahami cerita yang ada dalam novel ini. Referensi
novel angkatan 66 beserta pengarangnya